Welcome to My Website

"Tegakkan Islam yang ramah"

Posted by th4li4nk Sunday, February 11, 2007


Tiap kali kata ”Islam” disebut, tiap kali pula terbit ketidakpastian.

Tuan mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadan, membayar zakat secara patut, dan naik haji pula, tapi selalu ada kemungkinan tuan akan disebut ”tidak Islami”. Sebab tak pernah jelas siapa yang sebenarnya berhak memasang atau mencopot label ”Islam” seseorang. Gus Dur memandang diri ”muslim” dan dipandang demikian oleh jutaan orang, tapi dapat saja ia dianggap ”kafir” atau ”Abu Lahab” oleh mereka yang menyebut diri ”pembela Islam”.

Yang sering tak disadari ialah bahwa itu justru menunjukkan betapa guyahnya sebutan ”Islam”.

Identitas memang sesuatu yang penuh problem. Ketika sebuah identitas diberi nama dan masuk ke bahasa—dan umumnya demikian—kita memasuki risiko: selalu ada yang hilang dalam bahasa. Bahasa bukanlah cermin yang jernih. Tak sepenuhnya yang bergejolak dalam kehidupan bisa direpresentasikannya.

Sebab itu identitas selalu berakhir dengan kegagapan. Ia tak pernah tuntas. Ketika Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 menguraikan argumennya tentang Pancasila, ia menyebut kata ”pihak Islam”. Apa gerangan artinya? Pada saat itu, dalam konteks ketika ia diucapkan di depan para anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai itu, arti kata itu dianggap sudah jelas. Tapi mungkin tidak. Yang pasti, label ”pihak Islam” dipakai hanya untuk membedakan ”Islam” dari ”kebangsaan”: label adalah sebuah alat yang praktis.

Tentu saja ada yang tak stabil di situ. Seandainya di-lepaskan dari konteks hari itu, yang ”Islam” niscaya ber-arti mereka yang tak menganut paham ”kebangsaan”, dan yang menganut paham ”kebangsaan” niscaya bukan ”Islam”. Betapa menyesatkan pemaknaan itu. Bung Karno mengatakan bahwa ia ”orang Islam”. Ia menegaskan, meskipun Islamnya ”jauh belum sempurna”, dalam dadanya ada ”hati Islam”. Tapi adakah Bung Karno pernah di-sebut mewakili ”pihak Islam”? Tidak.

Dari ketidakstabilan makna itu tampak, ”pihak Islam” tak persis berarti ”kalangan yang beragama Islam”. Di sini ”Islam” adalah sebuah identitas yang bergantung pada konteks: waktu, tempat, dengan apa ia dibandingkan, kepada siapa kita bicara….

Kebanyakan kita lupa akan hal itu. Persoalan politik di Indonesia bermula ketika identitas sosial diperlakukan sebagai sesuatu yang final dan kekal. Perbedaan tak hanya diduga-duga; ia dirumuskan. Administrasi negara—yang ingin segala hal rapi dan gampang dipakai—merumuskan identitas-identitas, meletakkan mereka pada peta, seraya membangun kotak yang tegas. Para birokrat ingin membuat klasifikasi sebagai sarana mempermudah kontrol. Para pekerja media dan pakar ilmu politik ingin membuat perbedaan gampang dilihat dan dimengerti.

Pada giliranya, identitas sosial dianggap tertutup. Ketika terkait dengan agama, bahkan ia jadi seakan-akan yang-tak-tercemar. Tampaknya ada anggapan bahwa ka-rena agama datang dari Tuhan, otomatis agama akan mem-bentuk satu umat—sebuah identitas sosial—yang 100% cocok dengan bentuk idealnya sendiri.

Tentu saja itu hanya sebuah keinginan. Sejak dulu kata ”Islam”, ”Kristen”, ”Buddha”, atau ”Hindu” menandai himpunan manusia yang tak pernah berhenti menanti keselamatan, tak pernah berhenti mengutuk godaan. Sejak dulu kelompok-kelompok agama merasa tak pernah bebas dari cemar; dengan kata lain, mereka retak dalam diri mereka sendiri.

Tapi hidup manusia dibangun dari yang retak dan yang kurang. Sebab itu surga dianggap sebagai janji. Sebab itu sejarah bergerak karena manusia ingin membuat yang kurang jadi penuh. Siapa pun, juga ”pihak Islam”, tak bisa mengelakkan keadaan belum-penuh itu. Ia mau tak mau harus mengakui keterbatasan dan ketidak-kekalan diri-nya.

Tentu, masing-masing ”pihak” merasa diri punya kelebihan. Tapi mustahil ia bisa berasumsi bahwa ”pihak” lain serta-merta mengakui itu.

Sebuah ”pihak” terjadi justru karena dua sisi yang ber-tentangan. Di satu sisi, dengan identitasnya kelompok sosial ”A” hadir berbeda. Tapi di sisi lain, sebagai satu identitas di tengah identitas lain di bangunan bersama (”Indonesia”), ia tak berbeda: ia tak lebih rendah dan tak lebih tinggi. Posisinya hanya sebagai ”A” yang bukan ”B”, seperti halnya ”B” ada di sana sebagai bukan ”A”. Ke-duanya setara: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Pada suatu saat ia bisa mempunyai hegemoni dalam kebersamaan itu, tapi hegemoni itu bukan haknya yang asasi. Itu sebabnya, seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, ”pihak Islam” perlu menerima demokrasi: ”prinsip permusyawaratan, perwakilan”. ”Pihak Islam” juga harus ”bekerja sekeras-kerasnya”, untuk ”mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan….”

Dalam usaha itu, jelas ia tak dapat terus-menerus me-negaskan diri sebagai ”lain dari yang lain”. Ia bukan makhluk yang ganjil hanya karena harus berbeda dari yang ”Barat”. Ia juga tak dapat selamanya merumuskan diri secara antagonistis. Jika ia tak ingin tetap berada di pinggiran, ia perlu ”ramah”. Ia perlu meng-universal-kan apa yang partikular dalam dirinya. Ia tak akan selamanya membangun tembok, menghunus tombak dan menggertak, menepuk dada, ”Inilah Islam!” Ia justru akan menunjukkan, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam….

Pada saat seperti itu, pada saat sebuah ”pihak” membuka diri ke dalam yang universal, momen ethis pun muncul dalam politik. Saya ingat seorang tokoh politik Thailand—ia seorang muslim yang berhasil menduduki sebuah jabatan kabinet di negeri orang-orang Buddha itu—yang gemar mengutip sajak John Donne yang terkenal: ”No man is an island….”

0 comments

Followers