Mungkin aku harus jujur padamu, jika cinta yang tumbuh dalam batinku, dalam hatiku telah menjelma menjadi sebatang pohon. Pohon yang rimbun. Ranting-rantingnya kokoh, daun-daunnya hijau, dan akarnya menancap di kedalaman batin. Teramat dalam.
“Lantas kenapa? Adakah yang salah jika cinta menjelma sebatang pohon?” mungkin itu yang akan kau tanyakan jika aku telah berkata jujur padamu.
Maka akan kukatakan bahwa tak ada yang salah. Hanya, ada beberapa yang harus diketahui ketika cinta telah menjelma pohon. Dulu, cinta hanya berwujud biji. Biji itu adalah cintamu. Tak ada cinta lain yang hadir saat itu. Tapi kini, ketika cinta itu menjelma sebatang pohon. Pohon itu telah dengan sendirinya membuat cabang. Cabang pertama adalah engkau, dan cabang kedua adalah dia. Ya, dia yang tiba-tiba datang dengan kesendiriannya, dengan kediamannya, dengan kesunyiannya, dengan puisi-puisinya.
Aku pun tak tahu, inikah cinta yang dihantarkan malam? Ya, sayang. Malam-malamku adalah perbincangan panjang bersamanya. Bersama resah dan gelisah, bersama sepi dan sunyi.
Cabangmu dan cabangnya telah hidup pada batang pohon itu. Sama-sama tumbuh subur. Aku tak tahu dan tak ingin tahu, siapa yang lebih subur diantara kedua cabang itu.
Engkau dan dia adalah sosok yang berbeda. Engkau adalah cabang-cabang pohon dengan dedaunan yang lebat yang memberikan kesejukan, meyirami kehangatan dengan cinta dan rindu yang tak pernah habis untukku. Sedangkan dia, (sekali lagi harus kukatakan) dengan kelembutannya, kesetiannya, yang memberikan cahaya penerangan dalam batinku. Cinta, rindu, kasih sayang bahkan kelembutan diantara mereka menjadikan engkau dan dia adalah dua hal yang berbeda yang telah menancap dalam batinku.
Yang menjadikan kalian berdua sama adalah jarak. Jarak yang terbentang antara kita telah dengan sendirinya menciptakan perasaan lain. Engkau setia menyapaku lewat huruf-huruf, dia pun sama. Hanya menyapaku lewat huruf-huruf.
Maka kukatakan padamu malam ini, cinta telah menjelma sebatang pohon dalam batinku. Satu cabangnya adalah engkau dan cabang yang lain telah dihuni olehnya. Mungkin kejujuranku berlebihan. Tapi malam ini, aku hanya ingin mengatakan bahwa kedua cabangnya itu sama-sama rimbun dan memberi kesejukan.
Keinginan untuk ikut-ikutan memang ada dalam diri manusia, akan tetapi hal tersebut menjadi tercela dalam Islam apabila orang yang diikuti berbeda dengan kita dari sisi keyakinan dan pemikiran. Apalagi bila mengikuti dalam perkara akidah, ibadah, syi’ar dan kebiasaan. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk mengikuti tata cara peribadatan selain Islam, artinya,
“Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. At-Tirmidzi). Valentine’s Day adalah salah satu contoh hari besar di luar Islam yang pada hari itu sebagian kaum muslimin ikut memperingatinya, terutama kalangan ramaja dan pemuda. Padahal Valentine menurut salah satu versi sebuah ensiklopedi adalah nama pendeta St. Valentine yang dihukum mati karena menentang Kaisar Claudius II yang merlarang pernikahan di kalangan pemuda. Oleh karena itu kiranya perlu dijelaskan kepada kaum muslimin mengenai hukum merayakan hari Valentine atau yang sering disebut sebagai hari kasih sayang.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata, “Memberikan ucapan selamat terhadap acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah subhanahu wata’ala. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah subhanahu wata’ala dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran. Padahal dengan itu ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala.”
Abu Waqid meriwayatkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik, yang disebut dengan Dzaatu Anwaath, biasanya mereka menggantungkan senjata-senjata mereka di pohon tersebut. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzaatu Anwaath, sebagaimana mereka mempunyai Dzaatu Anwaath.” Maka Rasulullah bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).
Syaikh Muhammad al-Utsaimin ketika ditanya tentang Valentine’s Day mengatakan, “Merayakan hari Valentine itu tidak boleh, karena alasan berikut:
Pertama; ia merupakan hari raya bid’ah yang tidak ada dasar hukumnya di dalam syari’at Islam.
Kedua; ia dapat menyebabkan hati sibuk dengan perkara-perkara rendahan seperti ini yang sangat bertentangan dengan petunjuk para salaf shalih (pendahulu kita) semoga Allah meridhai mereka. Maka tidak halal melakukan ritual hari raya, baik dalam bentuk makan-makan, minum-minum, berpakaian, saling tukar hadiah ataupun lainnya. Hendaknya setiap muslim merasa bangga dengan agamanya, tidak menjadi orang yang tidak mempunyai pegangan dan ikut-ikutan. Semoga Allah subhanahu wata’ala melindungi kaum muslimin dari segala fitnah (ujian hidup), yang tampak ataupun yang tersembunyi dan semoga meliputi kita semua dengan bimbingan-Nya.”
Maka adalah wajib bagi setiap orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat untuk melaksanakan wala’ dan bara’ (loyalitas kepada muslimin dan berlepas diri dari golongan kafir) yang merupakan dasar akidah yang dipegang oleh para salaf shalih. Yaitu mencintai orang-orang mu’min dan membenci dan menyelisihi orang-orang kafir dalam ibadah dan perilaku.
Di antara dampak buruk menyerupai mereka adalah: ikut mempopulerkan ritual-ritual mereka sehingga terhapuslah nilai-nilai Islam. Dampak buruk lainnya, bahwa dengan mengikuti mereka berarti memperbanyak jumlah mereka, mendukung dan mengikuti agama mereka, padahal seorang muslim dalam setiap raka’at shalatnya telah membaca ayat,artinya,
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah:6-7)
Bagaimana mungkin ia memohon kepada Allah subhanahu wata’ala agar ditunjukkan kepadanya jalan orang-orang yang mukmin dan dijauhkan darinya jalan golongan mereka yang sesat dan dimurkai, namun ia sendiri justru menempuh jalan sesat itu dengan sukarela.
Lain dari itu, mengekornya kaum muslimin terhadap gaya hidup mereka akan membuat mereka senang serta dapat melahirkan kecintaan dan keterikatan hati. Allah subhanahu wata’ala telah berfirman, yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yahudi dan nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (al-Maidah:51)
Di dalam ayat lainnya, artinya,
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Mujadilah: 22)
Ada seorang gadis mengatakan bahwa ia tidak mengikuti keyakinan mereka, hanya saja hari Valentine tersebut secara khusus memberikan makna cinta dan suka citanya kepada orang-orang yang memperingatinya.
Saudaraku!! Ini adalah suatu kelalaian, padahal sekali lagi: Perayaan ini adalah acara ritual agama lain! Hadiah yang diberikan sebagai ungkapan cinta adalah sesuatu yang baik, namun bila dikaitkan dengan pesta-pesta ritual agama lain dan tradisi-tradisi Barat, akan mengakibatkan seseorang terobsesi oleh budaya dan gaya hidup mereka.
Mengadakan pesta pada hari tersebut bukanlah sesuatu yang sepele, tapi lebih mencerminkan pengadopsian nilai-nilai Barat yang tidak memandang batasan normatif dalam pergaulan antara pria dan wanita sehingga saat ini kita lihat struktur sosial mereka menjadi porak-poranda.
Alhamdulillah, kita mempunyai pengganti yang jauh lebih baik dari itu semua, sehingga kita tidak perlu meniru dan menyerupai mereka. Di antaranya, bahwa dalam pandangan kita, seorang ibu mempunyai kedudukan yang agung, kita bisa mempersembahkan ketulusan dan cinta itu kepadanya dari waktu ke waktu, demikian pula untuk ayah, saudara, suami dst, tapi hal itu tidak kita lakukan khusus pada saat yang dirayakan oleh orang-orang kafir.
Semoga Allah subhanahu wata’ala senantiasa menjadikan hidup kita penuh dengan kecintaan dan kasih sayang yang tulus, yang menjadi jembatan untuk masuk ke dalam Surga yang hamparannya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga Allah menjadikan kita termasuk dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam hadits qudsi, Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya,
“Kecintaan-Ku adalah bagi mereka yang saling mencintai karena Aku, yang saling berkorban karena Aku dan yang saling mengunjungi karena Aku.” (HR. Ahmad).(fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: a.. Seorang muslim dilarang untuk meniru-niru kebiasan orang-orang di luar Islam, apalagi jika yang ditiru adalah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan, pemikiran dan adat kebiasaan mereka.
b.. Bahwa mengucapkan selamat terhadap acara kekufuran adalah lebih besar dosanya dari pada mengucapkan selamat kepada kemaksiatan seperti meminum minuman keras dan sebagainya. c.. Haram hukumnya umat Islam ikut merayakan Hari Raya orang-orang di luar Islam. d.. Valentine’s Day adalah Hari Raya di luar Islam untuk memperingati pendeta St. Valentin yang dihukum mati karena menentang Kaisar yang melarang pernikahan di kalangan pemuda. Oleh karena itu tidak boleh ummat Islam memperingati hari Valentin’s tersebut. Sumber: “Ada Apa dengan Valentine’s Day,” Al-Sofwa, dengan penambahan. (Kholif)
Netter Al-Sofwa yang dimuliakan Allah Ta’ala, Menyampaikan Kebenaran adalah kewajiban setiap Muslim. Kesempatan kita saat ini untuk berdakwah adalah dengan menyampaikan buletin ini kepada saudara-saudara kita yang belum mengetahuinya.
Semoga Allah Ta’ala Membalas ‘Amal Ibadah Kita. Aamiin
Wallahu a'lam bissawab——————————————————————————————————-
Ayam bakar yang gurih dan lezat ^^, cocok dihidangkan kapan saja n dimana saja, Makanan khas Taliwang ini rasanya sudah tidak asing lagi di lidah kita, dan mungkin sering kita nikmati di rumah-rumah makan.
Pingin coba buat sendiri ? .. ini resepnya :) .
Bahan:
1 ekor ayam, dibelah sesuai selera2 sendok makan air jeruk nipis1/2 sendok teh garam200 ml air1 sendok makan minyak goreng
Bumbu halus:7 butir bawang merah4 siung bawang putih4 buah cabai merah [boleh lebih kalau suka pedas]2 cm kencur1 sendok teh terasi1 buah tomat1 sdt garam
Cara Membuat:
1. Lumuri ayam dengan jeruk nipis, garam lalu diamkan selama lebih kurang 30 menit.
2. Tumis bumbu halus sampai harum.
3. Masukkan ayam dan aduk sampai ayam kaku. Tuangkan air dan masak diatas api kecil sampai ayam tiga perempat matang.
4. Oven sampai matang
Tiap kali kata ”Islam” disebut, tiap kali pula terbit ketidakpastian.
Tuan mengucapkan dua kalimat syahadat, menjalankan salat lima waktu, puasa pada bulan Ramadan, membayar zakat secara patut, dan naik haji pula, tapi selalu ada kemungkinan tuan akan disebut ”tidak Islami”. Sebab tak pernah jelas siapa yang sebenarnya berhak memasang atau mencopot label ”Islam” seseorang. Gus Dur memandang diri ”muslim” dan dipandang demikian oleh jutaan orang, tapi dapat saja ia dianggap ”kafir” atau ”Abu Lahab” oleh mereka yang menyebut diri ”pembela Islam”.
Yang sering tak disadari ialah bahwa itu justru menunjukkan betapa guyahnya sebutan ”Islam”.
Identitas memang sesuatu yang penuh problem. Ketika sebuah identitas diberi nama dan masuk ke bahasa—dan umumnya demikian—kita memasuki risiko: selalu ada yang hilang dalam bahasa. Bahasa bukanlah cermin yang jernih. Tak sepenuhnya yang bergejolak dalam kehidupan bisa direpresentasikannya.
Sebab itu identitas selalu berakhir dengan kegagapan. Ia tak pernah tuntas. Ketika Bung Karno berpidato pada 1 Juni 1945 menguraikan argumennya tentang Pancasila, ia menyebut kata ”pihak Islam”. Apa gerangan artinya? Pada saat itu, dalam konteks ketika ia diucapkan di depan para anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai itu, arti kata itu dianggap sudah jelas. Tapi mungkin tidak. Yang pasti, label ”pihak Islam” dipakai hanya untuk membedakan ”Islam” dari ”kebangsaan”: label adalah sebuah alat yang praktis.
Tentu saja ada yang tak stabil di situ. Seandainya di-lepaskan dari konteks hari itu, yang ”Islam” niscaya ber-arti mereka yang tak menganut paham ”kebangsaan”, dan yang menganut paham ”kebangsaan” niscaya bukan ”Islam”. Betapa menyesatkan pemaknaan itu. Bung Karno mengatakan bahwa ia ”orang Islam”. Ia menegaskan, meskipun Islamnya ”jauh belum sempurna”, dalam dadanya ada ”hati Islam”. Tapi adakah Bung Karno pernah di-sebut mewakili ”pihak Islam”? Tidak.
Dari ketidakstabilan makna itu tampak, ”pihak Islam” tak persis berarti ”kalangan yang beragama Islam”. Di sini ”Islam” adalah sebuah identitas yang bergantung pada konteks: waktu, tempat, dengan apa ia dibandingkan, kepada siapa kita bicara….
Kebanyakan kita lupa akan hal itu. Persoalan politik di Indonesia bermula ketika identitas sosial diperlakukan sebagai sesuatu yang final dan kekal. Perbedaan tak hanya diduga-duga; ia dirumuskan. Administrasi negara—yang ingin segala hal rapi dan gampang dipakai—merumuskan identitas-identitas, meletakkan mereka pada peta, seraya membangun kotak yang tegas. Para birokrat ingin membuat klasifikasi sebagai sarana mempermudah kontrol. Para pekerja media dan pakar ilmu politik ingin membuat perbedaan gampang dilihat dan dimengerti.
Pada giliranya, identitas sosial dianggap tertutup. Ketika terkait dengan agama, bahkan ia jadi seakan-akan yang-tak-tercemar. Tampaknya ada anggapan bahwa ka-rena agama datang dari Tuhan, otomatis agama akan mem-bentuk satu umat—sebuah identitas sosial—yang 100% cocok dengan bentuk idealnya sendiri.
Tentu saja itu hanya sebuah keinginan. Sejak dulu kata ”Islam”, ”Kristen”, ”Buddha”, atau ”Hindu” menandai himpunan manusia yang tak pernah berhenti menanti keselamatan, tak pernah berhenti mengutuk godaan. Sejak dulu kelompok-kelompok agama merasa tak pernah bebas dari cemar; dengan kata lain, mereka retak dalam diri mereka sendiri.
Tapi hidup manusia dibangun dari yang retak dan yang kurang. Sebab itu surga dianggap sebagai janji. Sebab itu sejarah bergerak karena manusia ingin membuat yang kurang jadi penuh. Siapa pun, juga ”pihak Islam”, tak bisa mengelakkan keadaan belum-penuh itu. Ia mau tak mau harus mengakui keterbatasan dan ketidak-kekalan diri-nya.
Tentu, masing-masing ”pihak” merasa diri punya kelebihan. Tapi mustahil ia bisa berasumsi bahwa ”pihak” lain serta-merta mengakui itu.
Sebuah ”pihak” terjadi justru karena dua sisi yang ber-tentangan. Di satu sisi, dengan identitasnya kelompok sosial ”A” hadir berbeda. Tapi di sisi lain, sebagai satu identitas di tengah identitas lain di bangunan bersama (”Indonesia”), ia tak berbeda: ia tak lebih rendah dan tak lebih tinggi. Posisinya hanya sebagai ”A” yang bukan ”B”, seperti halnya ”B” ada di sana sebagai bukan ”A”. Ke-duanya setara: duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.
Pada suatu saat ia bisa mempunyai hegemoni dalam kebersamaan itu, tapi hegemoni itu bukan haknya yang asasi. Itu sebabnya, seperti dikatakan Bung Karno dalam pidato Lahirnya Pancasila, ”pihak Islam” perlu menerima demokrasi: ”prinsip permusyawaratan, perwakilan”. ”Pihak Islam” juga harus ”bekerja sekeras-kerasnya”, untuk ”mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan….”
Dalam usaha itu, jelas ia tak dapat terus-menerus me-negaskan diri sebagai ”lain dari yang lain”. Ia bukan makhluk yang ganjil hanya karena harus berbeda dari yang ”Barat”. Ia juga tak dapat selamanya merumuskan diri secara antagonistis. Jika ia tak ingin tetap berada di pinggiran, ia perlu ”ramah”. Ia perlu meng-universal-kan apa yang partikular dalam dirinya. Ia tak akan selamanya membangun tembok, menghunus tombak dan menggertak, menepuk dada, ”Inilah Islam!” Ia justru akan menunjukkan, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam….
Pada saat seperti itu, pada saat sebuah ”pihak” membuka diri ke dalam yang universal, momen ethis pun muncul dalam politik. Saya ingat seorang tokoh politik Thailand—ia seorang muslim yang berhasil menduduki sebuah jabatan kabinet di negeri orang-orang Buddha itu—yang gemar mengutip sajak John Donne yang terkenal: ”No man is an island….”