Welcome to My Website

Batu Ujian Cinta

Posted by th4li4nk Tuesday, March 25, 2008

Bagaimana kami tahu bahwa cinta kami cukup dalam untuk menghantar kami ke arah
berdampingan seumur hidup, menuju kepada kesetiaan yang sempurna? Bagaimana kami dapat yakin bahwa cinta kami ini cukup matang untuk diikat sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut memisahkan?
Ada beberapa Batu Ujian yang harus dilaksanakan, adapun Batu Ujian menurut Walter Trobisch adalah :

Pertama,
Ujian untuk merasakan sesuatu bersama.
Cinta sejati ingin merasakan bersama, memberi, mengulurkan tangan. Cinta sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri. Jika kalian membaca
sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi ini bersama sahabatku? Jika kalian merencanakan sesuatu, adakah kalian hanya berpikir tentang apa yang ingin kalian
lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain? Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis Jerman pernah mengatakan, "Mereka yang ingin bahagia sendiri, janganlah kawin. Karena yang penting dalam perkawinan ialah
membuat pihak yang lain bahagia. – mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain,
janganlah kawin. Karena yang penting di sini ialah mengerti pasangannya." Maka batu ujian yang pertama ialah:

Batu ujian pertama :
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan
sesuatu? Apakah aku ingin menjadi bahagia
atau membuat pihak yang lain bahagia?"

Kedua,
Ujian kekuatan.

Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang risau hatinya. Dia
pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan seseorang akan berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta. Meskipun dia sendiri mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat badannya dan inilah yang merisaukan hatinya. Memang benar, bahwa pengalaman cinta itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani. Tapi dalam jangka panjang cinta sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan memenuhi kalian dengan kegembiraan serta membuat kalian kreaktif, dan ingin menghasilkan lebih banyak lagi.

Batu ujian kedua :
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan
memenuhi kita dengan tenaga kreaktif, ataukah
cinta kita justru menghilangkan kekuatan dan
tenaga kita?"

Ketiga,
Ujian penghargaan.

Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain. Seorang gadis mungkin
mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan mencetak banyak
gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku mengingini dia sebagai ayah dari
anak-anakku?", jawabnya sering sekali menjadi negatif. Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri, "apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku?", gadis tadi mungkin akan berubah dalam pandangannya.

Pertanyaannya ialah:
"Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang tinggi satu kepada
yang lainnya? Apa aku bangga atas pasanganku?"

Keempat,
Ujian kebiasaan.

Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada saya. Dia
sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya, "tapi aku tak tahan
caranya dia makan apel." Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan. "Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan kawin berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi. Kalian harus menerima pasanganmu sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan kekurangannya.

Pertanyaannya:
"Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling menyukai?"

Kelima,
Ujian pertengkaran.

Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin kawin, saya selalu menanyakan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar - tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar bagaikan berperang. Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah, pak, kami saling mencintai." Saya katakan kepada mereka, "Bertengkarlah dahulu - barulah akan kukawinkan kalian." Persoalannya tentulah, bukan pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi. Kemampuan ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan"
sebelum kawin.

Pertanyaannya:
"Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"

0 comments

Followers