Cinta itu membuat sesuatu menjadi indah...
cinta itu bisa merubah segala sesuatu menjadi nyata...
Menjadikan sesuatu yang kelabu menjadi berbunga-bunga
Cinta...
Apa si sebenarnya dari hakikat cinta itu...?
Setelah ku pikir-pikir cinta itu tak berbentuk walah bernyawa dan cinta itu dapat memberi tanpa harus menerima dan juga cinta itu dapat dirasakan tapi tak dapat di nyatakan.
Ini terjadi semenjak aku mengenal seorang gadis...hmmm...
Orangnya sederhana saja. hanya saja dari pengamatanku selama ini aku melihat,mendengar ia memiliki keistimewaan dan nilai lebih dibandingkan dengan wanita yang lain yang pernah ku kenal. wajahnya yang teduh, cara berbicaranya yang lembut dan berwibawa,serta kepribadiaanya yang menawan membuat aku terpana.
Aku benar-benar mengaguminya dan kurasa aku telah jatuh cinta padanya.
Pernah sekali kucoba untuk berbicara serius dengan wanita idamanku itu.
Tapi, setiap kali aku ingin menyusun kata-kata, di situ pula pikiranku menjadi buntu.
Dan tanpaknya ia memahami kesulitanku tadi...
Seandainya ada seorang gadis menanyakan sesuatu kepada laki-laki
dengan pertanyaan yang begitu easy tapi maknanya sangat incredible...
"Seandainya dia meminta dunia, apa yg bisa kamu berikan? or seandainya dia memberikan bunga, apakah mau di letakan di luar or di dalam?"
Aku terdiam tak tahu harus berkata apa. Kurasakan lidahku kelu untuk
mengucapkan sesuatu.
Seandainya dunia yang diminta, rasanya sangat berat untuk dipikul dan dibawa
Dan seandainya bunga yang di berikan,pasti akan diletakan pada tempatnya yang bisa tumbuh dan dilindungi.
Entahlah,aku tak tau apa yang harus aku perbuat, terkadang aku mencoba untuk melupakannya aku malah semakin mengingatnya.
Tapi semuanya itu hanya Tuhanlah yang bisa menentukannya.
Sebenarnya bukan jatuh cinta yang membuatku jadi begitu. Sudah
berulangkali aku mengalaminya dan tak satu pun yang membuatku gelisah.
Tapi semuanya disebabkan oleh prinsip-prinsip yang selama ini aku
pegang.
Cinta tak selamanya harus memiliki. Cinta itu memberi tanpa harap menerima.
anytime tak ada satupun yang bisa mengobati hatiku yang malang ini disebabkan tak satupun prinsip itu yang dapat aku terima.
Aku ingin menyatakan cintaku. Aku ingin memilihnya sebagai orang yang selalu mendampingiku di setiap suka dan duka.
"Pacaran itu dosa, lho!" ujar seorang teman yang kupercayai
kredibilitas keagamaanya. Ucapan itu membuatku semakin gundah. Di satu sisi aku ingin memprotesnya, tapi di sisi lain aku sangat cinta kepada Islam yang selama ini aku perjuangkan, "Bukankah Allah-lah yang sepatutnya kita cintai ?"
ujar temanku itu mengulangi perkataan yang dulu pernah aku lontarkan
di setiap diskusi tentang iman. Itu membuatku malu pada diriku sendiri
dan benci pada cinta ini.
Tak ada pilihan lain. Aku harus menemui Pak Kiai untuk menemukan
jawaban yang tak kunjung kudapat. Masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Kulangkahkan kakiku melintasi jalan setapak yang telah setahun tak
pernah kuinjak. Sunyinya jalan itu membuat aku terus memikirkan yang telah terjadi.
Setiap belokan membuatku mendesah seraya menyesali diri. Tak adakah hal lain yang dapat kupikirkan selain cinta dan cinta ?
Sebenarnya aku sangat ngeri meminta nasihat dari Pak Kiai yang setiap
perkataannya selalu membuat telingaku memerah. Kata-katanya tak pernah lembut, seringkali kasar dan tidak sopan. Tak peduli apakah yang datang kepadanya seorang pejabat, bandit, atau orang yang sedang susah. Ia selalu memuntahkan kata-kata dengan intonasi, kosakata, volume suara, dan koefisien kekasaran yang tak berbeda. Baginya semua manusia sama. Dia pun tak sungkan untuk diprotes meski oleh orang bergelimang dosa sekalipun.
Mungkin hal itulah yang menyebabkan aku selalu menaruh kepercayaan
yang besar akan keikhlasannya membimbing umat. Apalagi setiap kali aku berbicara kepadanya, selalu ada saja hal-hal baru yang dapat aku bawa pulang.
"Mau apa kau ke sini ?" tanya Pak Kiai memulai kebiasaanya:
kasar. "Aku sedang jatuh cinta, Pak Kiai!" jawabku langsung ke pokok permasalahan sebab aku tahu Pak Kiai tak suka basa-basi.
"Baguslah kalau begitu. Itu tandanya kau masih manusia." "Tapi, Pak
Kiai, aku jatuh cinta pada seorang wanita. Bagaimana itu Pak? Apa yang harus kulakukan?"
"Bayangkanlah kalau kau jatuh cinta pada seorang pria. Kenapa kau
merasa gelisah sekali dengan mencintai seorang wanita? Apakah ia wanita yang nggak beres?"
"Oh, tidak! Dia wanita baik-baik. Baiiik sekali. Dia menjalankan
agamanya dengan sepenuh hati. Dia cukup membatasi pergaulannya dengan setiap lelaki.
Yah, itulah yang mungkin menjadi masalah padaku. Coba kalau dia itu
wanita yang nggak beres, tentu masalahnya tak serumit ini."
"Kau bodoh. Seharusnya kau bahagia mencintai wanita seperti itu. Coba
bayangkan kalau kau mencintai wanita slebor. Hatimu akan terus sibuk
memikirkan setiap tingkah lakunya. Kau akan merasakan cemburu, sakit hati, membenci, dendam, bisa-bisa kau gila. Pikiranmu akan terus tersita dengan wanita seperti itu. Kapan lagi kau mau ingat Allah?
Bukankah mencintai wanita yang sholeha membuatmu sadar untuk bertindak seperti orang yang kau cintai?"
"Benar, Pak! Lalu, apakah aku boleh berpacaran dengannya? Aku merasa tidak puas hanya dengan berteman dengannya. Perlu Pak Kiai ketahui bahwa banyak orang mengatakan bahwa pacaran itu haram karena dengan pacaran hati kita akan sibuk mengingat kekasih kita sehingga kita lalai dari mengingat Allah.
Bagaimana pula kalau dengan pacaran malah membuat kita semakin ingat dengan Allah?"
Pak Kiai diam sejenak. Dahinya yang hitam mengkerut seolah memikirkan sesuatu yang sangat berat. Matanya sesekali memandang ke arahku dengan tajam.
"Maaf Nak! Aku sudah tua. Banyak sekali hal-hal yang sudah aku
lupakan.Tolong kau jelaskan kepadaku apa yang kau maksud dengan pacaran.Setahuku, kata itu belum pernah aku jumpai di kitab fikih manapun sehingga dapat ditentukan halal haramnya. Sudah kuingat-ingat pula segala ilmu tasawuf, juga kata itu tak kutemukan di sana. Berikanlah gambaran kepadaku tentang pacaran agar aku dapat menentukan hukumnya!"
"Begini, Pak! Pacaran itu diawali dengan suatu perjanjian untuk saling
mengenal satu sama lainnya, terus dari kenalan tadi diharapkan
masing-masing pihak dapat saling memahami pasangannya, terus ...",
tiba-tiba saja aku merasa buntu. Aku coba mencari penjelasan yang
tepat tentang pacaran, tapi aku tak tahu. Ternyata, pacaran yang selama ini aku inginkan tak pernah kutahu apa maknanya.
Melihat yang ditanya kebingungan, Pak Kiai coba membantu, "Apa saja
yang dilakukan orang ketika pacaran?" "Banyak, Pak! Ada yang ngobrol-
ngobrol kadang tak tentu arah, sering-sering menelpon pacarnya, ada yang suka pergi berdua-duaan dan ...yah begitulah.
Pak Kiai saya kira juga tahu. Tapi, tunggu dulu Pak Kiai, yang akan
kulakukan bukan seperti itu. Aku akan membicarakan dengannya masalah agama, saling menjaga diri dengan saling mengingatkan bila berbuat khilaf, pokoknya yang Islami-lah Pak," sahutku.
"Ooh, begitu. Lalu apa bedanya dengan berteman? Kau kira kau tidak
punya kewajiban seperti itu terhadap seorang teman? Kau kira kepada teman kau boleh berlaku tak Islami?"
"Coba aku tanyakan kepadamu, apakah kekuatan perjanjian itu sehingga tak dapat memisahkan pemilikan satu dengan lainnya? Apakah kau
mengatasnamakan Allah dalam perjanjian tadi? Mengapa tak sekalian nikah saja? Khan dengan nikah kau bahkan lebih leluasa lagi. Tak seorang laki-laki pun berhak memiliki seorang wanita tanpa melalui nikah. Bahkan ayahnya sendiri yang membesarkan dan memberi makan serta pendidikan kepadanya. Sampai-sampai si ayah pun tak berhak memaksa anak wanitanya menikahi pria yang bukan
pilihan sang anak.
Itulah yang Islami!"" ucap Pak Kiai dengan cepat bagai rentetan peluru.
"Lalu apa yang sudah kau berikan padanya sampai-sampai kau ingin
memilikinya? Lebih baik kau tunjukkan rasa cintamu dengan tanggung
jawab sebagai seorang sahabat yang Islami. Biarkan cinta bersemi dalam hatimu karena itu anugerah Allah yang harus kau syukuri, bukan ingkari. Cinta itu amanat Allah, maka jangan kau khianati. Pacaran yang kau maksud sebenarnya hanya kata tanpa makna yang akan menjerumuskan orang pada penghalalan zina dalam dirinya. Kau mungkin sakit hati mendengar perkataanku ini, tapi apa
artinya menyenangkan hatimu kalau yang kusampaikan itu akan
menjerumuskanmu dan membuatmu menyesal kelak."
Aku terdiam tak tahu harus berkata apa. Kurasakan lidahku kelu untuk
mengucapkan sesuatu.
"Sudahlah, kalau kau ingin pacaran juga, silakan saja, aku tak berhak
memaksa. Aku hanya ingin kau berpikiran dewasa dan tidak menghabiskan waktumu untuk sesuatu yang kau sendiri tak tahu manfaatnya."
0 comments